Rabu, 21 April 2010

Kalimat "Laa Ilaha Illallah" Merupakan Harga Syurga (2)

Hanya Allah Saja Sesembahan Yang Benar

Pembahasan kedua adalah bagaimana jika ‘laa ilaha illallah’ ditafsirkan dengan pengertian Tuhan yang kedua yaitu sesembahan, maka makna ‘laa ilaha illallah’ menjadi ‘tidak ada sesembahan selain Allah’.

Sebenarnya pengertian ilah pada tafsiran kedua sudah benar karena kata ‘ilah‘ secara bahasa berarti sesembahan (ma’bud atau ma’luh). Dan para ulama juga menafsirkan kata ilah juga dengan sesembahan.[5]

Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah. Maka Isa putra Maryam adalah Allah karena merupakan sesembahan kaum Nashrani. Patung-patung kaum musyrikin yaitu Lata, Uzza dan Manat adalah Allah karena merupakan sesembahan mereka sebagai perantara kepada Allah. Para wali yang dijadikan perantara dalam berdo’a juga Allah karena merupakan sesembahan para penyembah kubur. Ini berarti seluruh sesembahan yang ada adalah Allah. Maka tafsiran yang kedua ini jelas-jelas merupakan tafsiran yang bathil dan keliru.

Penjelasan di atas bukan kami rekayasa. Sebagai bukti, pembaca dapat melihat apa yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami berikut.

“Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang ada kecuali Allah, maka hal ini mengonsekuensikan seluruh sesembahan yang benar dan bathil (salah dan keliru) adalah Allah. Maka jadilah segala yang disembah kaum musyrik baik matahari, rembulan, bintang, pohon, batu, malaikat, para nabi, orang-orang sholih dan selainnya adalah Allah. Dan bisa jadi dengan menyembahnya dikatakan telah bertauhid. Dan ini -wal’iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari keyakinan semacam ini)- adalah kekufuran yang paling besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam ini berarti telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul, berarti telah kufur (mengingkari) seluruh kitab dan menentang/ mendustakan seluruh syari’at. Ini juga berarti telah merekomendasi seluruh orang kafir karena segala makhluk yang mereka sembah adalah Allah. Maka tidak ada lagi pada embel-embel syirik tetapi sebaliknya mereka bisa disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Maha Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim dan orang-orang yang menentang ini.

Jika kita sudah memahami demikian, maka tidak boleh kita katakan ‘tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah.”Kecuali kita menambahkan kalimat ‘dengan benar’ pada tafsiran tersebut maka ini tidaklah mengapa. Jadi tafsiran laa ilaha illallah (yang tepat) menjadi ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’.” -Demikian yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami dengan sedikit perubahan redaksi-[6]. Di samping itu, pemaknaan di atas adalah keliru karena tidak sesuai dengan kenyataan. Realita menunjukkan terdapat banyak sesembahan selain Allah. Maka bagaimana mungkin kita katakan tidak ada sesembahan melainkan Allah?! Sungguh ini adalah kebohongan yang sangat-sangat nyata.

Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al Hafizh di atas, makna laa ilaha illallah yang tepat adalah ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’. Kenapa perlu ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’?

Jawabnya, karena kenyatannya banyak sesembahan selain Allah di muka bumi ini. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan itu tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah semata.

Bukti harus ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’ dapat dilihat pada firman Allah ta’ala,

“Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS. Luqman: 30). Oleh karenanya, tafsiran ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah ‘laa ma’buda haqqun illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah].

Merujuk Tafsiran Para Ulama

Jika kita merujuk tafsiran para ulama, kita akan mendapati tafsiran laa ilaha illallah sebagaimana yang dikemukakan di atas.

Ath Thobary tatkala menafsirkan firman Allah ta’ala,

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada ilah selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am: 106). Pada kalimat tidak ada ilah selain Dia beliau mengatakan, ‘Tidak ada sesembahan yang berhak bagimu untuk mengikhlaskan ibadah kecuali Allah’.[7]

Ibnu Katsir mengatakan tentang tafsir firman Allah,

“Dan Dialah Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (QS. Qashash: 70) “Maksudnya adalah Allah bersendirian dalam uluhiyyah, tidak ada sesembahan selain Dia, sebagaimana tidak ada pencipta selain Dia.”[8]

Asy Syaukani mengatakan tentang firman Allah pada awal ayat kursi (Al Baqarah ayat 255)وَ
“Laa ilaha illa huw’ bermakna ‘laa ma’buda bihaqqin illa huw’ [tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah], beliau menafsirkan ilah adalah, “Ma’bud (sesembahan) atau yang berhak diibadahi.”[9]

Fakhruddin Ar Rozi -yang merupakan ulama Syafi’iyyah-, dalam Mafatihul Ghoib mengatakan tentang tafsir ayat,
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Rabb kamu; tidak ada ilah selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia.” (QS. Al An’am: 102), di mana tidak ada ilah selain Dia adalah, “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, sedangkan yang dimaksudkan oleh ayat ‘maka sembahlah Dia’ adalah jangan menyembah kepada selain-Nya.”[10]

As Suyuthi dalam Tafsir Al Jalalain ketika menafsirkan ayat kursi (surat Al Baqarah ayat 255),
“Allah, tidak ada ilah melainkan Dia.” Beliau langsung menafsirkannya dengan berkata, “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah di alam semesta ini selain Allah.”

Itulah tafsiran para ulama yang sangat mendalam ilmunya. Tafsiran mereka terhadap kalimat yang mulia ini walaupun dengan berbagai lafadz, namun kembali pada satu makna. Kesimpulannya, makna ‘laa ilaha illallah’ adalah tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah. Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Kalimat "Laa Ilaha Illallah" Merupakan Harga Syurga (1)

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam dan berhak disembah, tidak ada ilah selain-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Pembahasan berikut akan mengupas kekeliruan dalam menafsirkan kalimat syahadat “laa ilaha illallah”.

Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.”[1]

Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling utama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.”[2]

Masih terngiang-ngiang di telinga kita apa yang dikatakan guru agama kita di bangku sekolah dasar ketika menerangkan mengenai makna kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Guru kita akan mengajarkan bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’ itu bermakna ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat yang mulia ini sudah benar? Sudahkah penafsiran ini sesuai dengan yang diinginkan al-Qur’an dan Al Hadits? Pertanyaan seperti ini seharusnya kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang benar yang selaras dengan al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salafush sholih).

Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Mengapa sih terlalu membesar-besarkan masalah ini?” Lha wong hanya berkaitan dengan penafsiran saja kok dipermasalahkan!” Apa tidak ada pembahasan yang lain?

Ingat!! Masalah ini bukanlah masalah yang remeh karena berkaitan dengan penafsiran kalimat yang paling mulia yang merupakan kunci untuk masuk Islam dan perkataan terakhir yang seharusnya diucapkan oleh setiap muslim sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir! Masalah ini berkaitan dengan penafsiran kalimat agung ‘laa ilaha illallah’.

Tafsiran Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ = ‘Tiada Tuhan Selain Allah’

Selama ini diketahui bahwa tafsiran kalimat ‘laa ilaha illallah’ yang telah diajarkan sejak bangku SD sampai perguruan tinggi adalah ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Yang perlu kita tanyakan, apakah tafsiran ‘laa ilaha illallah’ seperti ini sudah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits ?

Makna Ilah Adalah Tuhan?

Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat tersebut berarti Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam penggunaan keseharian bisa memiliki dua makna. Makna pertama, kata Tuhan berarti pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan (yang merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah). Makna kedua, kata Tuhan berarti sesembahan[3]. Mari kita tinjau dua makna ini.

Ilah = Pencipta, Pemberi Rizki, dan Pengatur Alam Semesta

Pembahasan pertama, bagaimana kalau ilah pada kalimat ‘laa ilaha illallah’ bermakna Tuhan yang berarti pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta (disebut dengan sifat Rububiyah)?

Sebelumnya perlu kami sebutkan di sini bahwasanya keyakinan tentang Allah sebagai satu-satunya pencipta, satu-satunya penguasa, satu-satunya pemberi rezeki dan satu-satunya pengatur alam semesta adalah keyakinan yang benar dan tidak ada keraguan tentangnya. Namun, perlu diketahui bahwa keyakinan seperti ini juga diakui oleh orang-orang musyrik sebagaimana terdapat dalam banyak ayat/dalil.

Allah ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf: 87)

Perhatikanlah! Dalam ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupkan mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah (yang berkaitan dengan perbuatan Allah) saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)

Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”[4]

Dari sini terlihat jelas bahwa keyakinan tentang Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan juga merupakan keyakinan orang-orang musyrik. Bagaimana jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan tidak ada Tuhan selain Allah yang bisa bermakna ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada penguasa selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’?

Kalau diartikan demikian, lalu apa yang membedakan seorang muslim dan orang-orang musyrik? Apa yang membedakan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam dan setelah masuk Islam? Dan perhatikanlah tafsiran semacam ini akan membuka berbagai pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Kenapa demikian?

Karena kaum muslimin akan menyangka bahwa ketika seseorang sudah mengakui ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’, maka mereka sudah disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Walaupun mereka berdoa dengan mengambil perantaraan selain Allah, bernazar dengan ditujukan kepada kyai fulan, itu tidaklah mengapa. Ini sungguh kekeliruan yang sangat fatal. Berarti keyakinan mereka sama saja dengan keyakinan orang-orang musyrik dahulu yang mengakui sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam ibadah seperti doa dan nazar. Orang-orang musyrik tidak mengingkari sifat rububiyyah semacam ini sebagaimana terdapat pada ayat-ayat di atas.

Jelaslah pada pembahasan pertama ini kesalahan tafsiran ‘laa ilaha illallah’ dengan tiada Tuhan selain Allah yang bermakna tidak ada pencipta selain Allah atau tiada penguasa selain Allah

10 Nasihat Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Dalam Lembah Maksiat

Alih Bahasa: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba’du.

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu……

Apabila engkau berlimpah nikmat

maka jagalah, karena maksiat

akan membuat nikmat hilang dan lenyap

Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.

Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya

Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.

Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…

Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…

Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.

Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.

(Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com)
Artikel www.muslimah.or.id

Senin, 19 April 2010

Menjaga Diri dari Syubhat dan Syahwat

Syaithan merupakan musuh nyata manusia. Dia selalu berusaha menjerumuskan manusia kedalam jurang kekafiran, kesesatan dan kemaksiatan. Di dalam menjalankan aksinya itu syaithan memiliki dua senjata ampuh yang telah banyak memakan korban. Dua senjata itu adalah syubhat dan syahwat. Dua penyakit yang menyerang hati manusia dan merusakkan perilakunya.
Syubhat artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusakkan ilmu dan keyakinannya. Sehingga jadilah “perkara ma’ruf menjadi samar dengan kemungkaran, maka orang tersebut tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. Bahkan kemungkinan penyakit ini menguasainya sampai dia menyakini yang ma’ruf sebagai kemungkaran, yang mungkar sebagai yang ma’ruf, yang sunnah sebagai bid’ah, yang bid’ah sebagai sunnah, al-haq sebagai kebatilan, dan yang batil sebagai al-haq”. (Tazkiyatun Nufus, hal: 31, DR. Ahmad Farid)
Penyakit syubhat ini misalnya: keraguan, kemunafikan, bid’ah, kekafiran, dan kesesatan lainnya.

Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat) maksudnya adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at.
Fitnah syahwat ini akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini.
Penyakit syahwat ini misalnya: rakus terhadap harta, tamak terhadap kekuasaan, ingin populer, mencari pujian, suka perkara-perkara keji, zina, dan berbagai kemaksiatan lainnya.
KEKHAWATIRAN RASULULLAH TERHADAP PENYAKIT SYUBHAT DAN SYAHWAT
Rasulullah n telah mengkhawatirkan fitnah (kesesatan) syahwat dan fitnah syubhat terhadap umatnya. Beliau bersabda:
Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kamu. Tetapi aku khawatir atas kamu jika dunia dihamparkan atas kamu sebagaimana telah dihamparkan atas orang-orang sebelum kamu, kemudian kamu akan saling berlomba (meraih dunia) sebagaimana mereka saling berlomba (meraih dunia), kemudian dunia itu akan membinasakan kamu, sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan lainnya dari Amr bin Auf Al-Anshari)
Dalam hadits lain beliau bersabda:
Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan. (HR. Ahmad dari Abu Barzah Al-Aslami. Dishahihkan oleh Syeikh Badrul Badr di dalam ta’liq Kasyful Kurbah, hal: 21)
Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemaluan adalah fitnah syahwat, sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat.
Kedua fitnah ini sesungguhnya juga telah menimpa orang-orang zaman dahulu dan telah membinasakan mereka. Allah berfirman;
(Keadaan kamu hai orang-oang munafik dan musyirikin adalah) seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagian mereka, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. 9:69)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Allah menggabungkan antara “menikmati bagian” dengan “mempercakapkan (hal yang batil)”, karena kerusakan agama itu kemungkinan:
• terjadi pada keyakinan yang batil dan mempercakapkannya (hal yang batil)
• atau terjadi pada amalan yang menyelisihi i’tiqad yang haq.
Yang pertama adalah bid’ah-bid’ah dan semacamnya. Yang kedua adalah amalan-amalan yang fasiq. Yang pertama dari sisi syubhat-syubhat. Yang kedua dari sisi syahwat-syahwat.
Oleh karena itulah Salafush Shalih dahulu menyatakan: “Waspadalah kamu dari dua jenis manusia: Pengikut hawa-nafsu yang telah disesatkan oleh hawa-nafsunya (inilah fitnah syubhat-pen), pemburu dunia yang telah dibutakan oleh dunianya (ini fitnah syahwat-pen)”.
Mereka juga menyatakan: “Waspadailah kesesatan orang ‘alim (ahli ilmu) yang durhaka (karena terkena fitnah syahwat-pen), dan kesesatan ‘abid (ahli ibadah) yang bodoh (karena terkena fitnah syubhat-pen), karena kesesatan keduanya itu merupakan kesesatan tiap-tiap orang yang tersesat.”
Maka yang itu (orang ‘alim yang durhaka) menyerupai (orang-orang Yahudi) yang dimurkai, orang-orang yang mengetahui al-haq, tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan yang ini (‘abid yang bodoh) menyerupai (orang-orang Nashara) yang sesat, orang-orang yang beramal tanpa ilmu.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 55, tahqiq Syeikh Khalid Abdul Lathif As-Sab’ Al-‘Alami)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah t juga berkata: “Firman Allah k : “kamu telah nikmati bagianmu” mengisyaratkan pada mengikuti hawa-nafsu syahwat, ini merupakan penyakit para pelaku maksiat. Dan firman Allah: “Dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya” mengisyaratkan pada mengikuti syubhat-syubhat, ini merupakan penyakit para pelaku bid’ah, pengikut hawa-nafsu, dan perdebatan-perdebatan. Dan sangat sering keduanya (penyakit itu) berkumpul. Maka jarang engkau dapati orang yang aqidahnya ada kerusakan, kecuali hal itu nampak pada lahiriyahnya.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal: 55)
BENTENG FITNAH SYUBHAT DAN SYAHWAT
Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Asal seluruh fitnah (kesesatan) hanyalah dari sebab: mendahulukan fikiran terhadap syara’ (agama) dan mendahulukan hawa-nafsu terhadap akal.Yang pertama adalah asal fitnah syubhat, yang kedua adalah asal fitnah syahwat. Fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan, adapun fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Oleh karena itulah Alloh menjadikan kepemimpinan agama tergantung dengan dua perkara ini. Allah k berfirman:
Dan Kami jadikan di antara mereka (Bani Israil) itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. 32:24)
Ini menunjukkan bahwa dengan kesabaran dan keyakinan akan dapat diraih kepemimpinan dalam agama.
Alloh juga menggabungkan dua hal itu di dalam firmanNya:
Dan mereka saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. 103:3)
Maka mereka saling menasehati supaya mentaati kebenaran yang menolak syubhat-syubhat, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran yang menghentikan syahwat-syahwat.
Alloh juga menggabungkan antara keduanya di dalam firmanNya:
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. (QS. 38:45)
Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat akan ditolak. Dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat akan ditolak. Wallahul Musta’an. )Kitab: Mawaridul Amaan, hal: 414-415]
Maka hendaklah setiap kita berusaha meraih ilmu yang haq dan bersabar di atasnya, sehingga selamat dari penyakit syubhat dan syahwat.
oleh Muslim Atsari
sumber: http://salafiyunpad.wordpress.com

Tanda Baiknya Islam Seseorang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Diantara (tanda) baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat.”
(HR. At-Tirmidziy no.2318, Malik, Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Misykaah 4839)
Hadits ini dikenal di kalangan kaum muslimin bahkan kebanyakan mereka telah menghafalnya baik secara lafazh maupun maknanya karena memang lafazhnya pendek sehingga mudah dihafal, akan tetapi sedikit dari mereka yang melaksanakan kandungan hadits tersebut kecuali orang yang Allah mudahkan.
Hadits ini diriwayatkan oleh Qurrah bin ‘Abdurrahman dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu dan beliau berkata tentang hadits ini: “Ini adalah kalimat yang padat isinya, luas dan agung maknanya yang tersusun dalam lafazh yang singkat.”
Hadits ini adalah pokok dalam masalah adab dan arahan yang lurus kepada orang Islam. Abu Dawud berkata: “Pokok/intinya sunnah pada semua babnya terdapat dalam empat hadits.”, lalu beliau menyebutkan di antaranya yaitu hadits ini. (Syarh Al-Arba’iin Hadiitsan An-Nawawiyyah hal.43). Berkata Ibnu Rajab: “Hadits ini adalah pokok yang agung dari pokok-pokok adab” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal.105).
Berkata Muhammad bin Abi Zaid, Imamnya Madzhab Malikiyyah pada zamannya: “Kumpulan adab kebaikan dan pengikatnya tercabang dari empat hadits, kemudian beliau menyebutkan yang diantaranya adalah hadits ini: “Di antara bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat.”
Dan diriwayatkan dari Al-Hasan, beliau berkata: “Di antara tanda berpalingnya Allah Ta’ala dari seorang hamba adalah Allah menjadikan kesibukannya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Diantara Tanda Kesempurnaan Islamnya Seorang Hamba
Sesungguhnya di antara tanda kesempurnaan islamnya seorang hamba dan keistiqamahannya adalah meninggalkan apa-apa yang bukan tujuannya dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan serta dia mencukupkan terhadap apa-apa yang bermanfaat baginya dari hal-hal tersebut. Makna: “apa-apa yang bermanfaat” adalah apa-apa yang berkaitan dengan ‘inaayah-nya (perhatian dan kepentingannya) serta merupakan maksud/tujuannya dan yang dia cari, sedangkan ‘inaayah adalah kuatnya perhatian terhadap sesuatu, dikatakan ‘anaahu ya’niih artinya dia memperhatikannya dan mencarinya.
Kebanyakan yang diinginkan dengan kalimat “meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat” adalah menjaga lisan dari ucapan yang sia-sia. Maka kebanyakan manusia tidak menghitung ucapannya itu sebagai bagian dari amalannya sehingga dia serampangan dalam ucapannya dan tidak memeriksanya
Abu Dzarr radhiyallahu‘anhu berkata dalam sebuah haditsnya: “Siapa saja yang menghitung perkataannya termasuk dari amalannya niscaya akan sedikit perkataannya kecuali terhadap apa-apa yang bermanfaat baginya.”
Berkata Al-Imam An-Nawawiy: “Ketahuilah bahwasanya selayaknya bagi setiap mukallaf (orang yang terbebani kewajiban syari’at) agar menjaga lisannya dari setiap perkataan kecuali perkataan yang mengandung maslahat dan kapan saja antara berbicara dan meninggalkannya itu sama dalam kemaslahatannya maka yang disunnahkan adalah menahan diri darinya, karena sesungguhnya kadang-kadang perkataan yang mubah akan mengantarkan kepada yang haram dan makruh dan yang demikian itulah yang banyak terjadi.” (Riyaadhush Shaalihiin hal.532)
Dan di antara pengawasan dan sesuatu yang ma’ruf adalah bahwasanya perkataan yang baik yang akan ditimbang atau diam itu akan memberikan kemuliaan dan kewibawaan bagi kepribadian seorang muslim sedangkan banyaknya perkataan dan memperbanyaknya serta masuk pada perkara-perkara yang tidak bermanfaat hanya akan mengkoyak-koyak atau menodai kepribadian seorang muslim dan akan mengecilkan kedudukannya dan kemuliaannya dalam jiwa-jiwa orang lain.
Maka hadits ini menunjukkan bahwasanya meninggalkan apa-apa yang bukan perhatian dan kepentingan seseorang artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat (pent) adalah di antara baiknya keislamannya dan di antara baiknya keislamannya adalah mencocoki kebaikan dan bimbingan (syari’at) dan akan dilipatgandakan kebaikan-kebaikannya dan akan dihapus kejelekan-kejelekannya. Dari Abu Hurairah berkata: “Apabila salah seorang di antara kalian membaguskan keislamannya, maka setiap kebaikan yang ia lakukan akan ditulis sepuluh kali lipat yang semisalnya sampai tujuh ratus kali lipat sedangkan setiap kejelekan akan ditulis dengan yang semisalnya sampai ia bertemu Allah ‘azza wa jalla.” (Mukhtashar Muslim hal.23)
Patokan dalam Meninggalkan Apa-apa yang Tidak Bermanfaat
Mesti harus adanya patokan terhadap ketentuan ini secara syari’at, bukan mengikuti hawa nafsu dan bisikan-bisikan jiwa, karena hal itulah Rasulullah menjadikannya (meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat) termasuk dari baiknya keislaman seseorang, karena ada sebagian manusia salah dalam memahami hadits ini, lalu meninggalkan kebanyakan dari perkara-perkara yang wajib atau yang sunnah karena menyangka bahwasanya semuanya ini termasuk dari perkara-perkara yang tidak bermanfaat, sebagaimana sebagian manusia ini meninggalkan nasehat kepada orang lain, dan hal ini tidak ragu lagi menyelisihi banyak nash-nash (dalil-dalil) yang menganjurkan untuk menasehati kaum muslimin. Dan sebaliknya, sebagian mereka masuk dalam banyak perkara-perkara (yang dilarang syari’at -pent.) karena menyangka bahwasanya hal ini termasuk dari hal-hal yang bermanfaat. (Lihat Qawaa’id wa Fawaa`id minal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.122-124)
Beberapa Faidah Hadits Ini:
1. Sesunguhnya keislaman seseorang itu berbeda-beda, ada yang baik dan ada yang tidak baik, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Di antara ciri baiknya keislaman seseorang...”
2. Selayaknya bagi seorang muslim untuk meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat, baik dalam urusan agamanya maupun dunianya, karena sesungguhnya hal itu akan lebih menjaga waktunya dan lebih menyelamatkan agamanya serta lebih mudah untuk meringkasnya (sehingga tidak terjatuh pada perbuatan yang tidak bermanfaat -pent.). Seandainya dia masuk (mencampuri) urusan-urusan manusia yang tidak ada kepentingannya dan tidak bermanfaat baginya niscaya benar-benar dia akan lelah. Akan tetapi jika dia berpaling darinya dan tidak sibuk kecuali dengan perkara yang bermanfaat, niscaya hal ini akan menjadi ketenteraman dan ketenangan baginya.
3. Janganlah seorang muslim menyia-nyiakan perkara yang bermanfaat bagi dirinya yakni perkara yang penting baginya dari perkara agamanya maupun dunianya, bahkan seharusnya dia menekuninya dan sibuk dengannya serta melakukan cara yang lebih dekat untuk mendapatkan apa yang dimaksud (dari hal-hal yang bermanfaat -pent.). (Lihat Ta’liiqaat ‘alal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.32-33)
4. Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menggunakan waktu dengan hal-hal yang akan memberikan manfaat kepada seorang hamba baik di dunia maupun di akhirat.
5. Anjuran atas hamba untuk memilih dan menyaring perkara-perkaranya dan menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang tinggi nilainya.
6. Anjuran agar melatih jiwa dan mendidiknya, dan yang demikian itu dengan cara menjauhkann diri dari apa-apa yang dapat mengotorinya dari kekurangan-kekurangan dan kerendahan-kerendahan
Peringatan dan Nasehat
Maka kami menasehati diri-diri kami secara khusus dan kaum muslimin secara umum agar benar-benar memperhatikan dan memahami keterangan di atas baik dari Al-Qur`an, As-Sunnah ataupun ucapan para ‘ulama serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berusahalah semaksimal mungkin dengan meminta pertolongan kepada Allah agar kita bisa menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Janganlah kita menyibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti ngobrol kesana kemari tanpa ada manfaat yang jelas, suka mencampuri urusan orang lain kecuali kalau dia meminta kita untuk membantunya, membicarakan aib orang lain, ngrumpi dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak bermanfaat dan dilarang oleh agama.
Tidakkah kita lebih baik menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat seperti: membaca Al-Qur`an dan menghafalkannya, mempelajari hadits Nabi dan menghafalkannya semampu kita, membicarakan permasalahan ilmu agama yang akan menambah ilmu kita, membicarakan dakwah dan menyebarkannya di tengah ummat, mengajak orang lain untuk menghadiri majelis ilmu yang disampaikan oleh ahlus sunnah, mendengarkan ceramah-ceramahnya lewat kaset, mendengarkan murottal dan sebagainya dari amalan-amalan yang dituntunkan oleh syari’at.
Kalaulah kita mau sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat tadi niscaya kita tidak akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Sebagaimana perkataan sebagian salaf, ”Waktu adalah pedang. Jika engkau tidak menyibukkan diri dengan kebenaran. Pasti ia akan menyibukkanmu dengan kebatilan.”
Kita meminta kepada Allah Ta’ala agar memberikan taufiq-Nya kepada kita semua sehingga kita mampu melaksanakan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai. Dan ucapan orang-orang beriman adalah: “Kami mendengar dan kami taat.” Wallaahu Ta’aalaa A’lam.
Buletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-45 Tahun ke-2 (dengan sedikit perubahan)